[[TALK]] - Tidak Memanusiakan untuk Memanusiakan


Beberapa hari belakangan, ada yang mengganggu pikiranku terkait sisi kesantunan berikut "harga" yang wajib dibayar untuk setugu jasad. Berawal dari om yang mengabari jika anaknya, yang berarti sepupuku, hendak meneruskan studi ke jenjang perguruan tinggi jurusan kedokteran. Yah, dokter… gelar yang kiranya sangat hebat di mata kebanyakan orang, baik dari segi ilmu yang harus dituntut, biaya selama belajar, manfaat untuk sesama, maupun penghasilan kelak yang bakal didapat. Keren, sih.

Kabar tersebut kemudian kusampaikan pada bapakku. Dia bilang, "Kuliah kedokteran itu banyak yang nggak kuat. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka harus mengadakan kontek dengan mayat secara sering." Benarkah? Kupikir benar juga (jika memang benar).

Lalu aku mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sering kudengar jika berkuliah di jurusan kedokteran: membeli mayat, melakukan otopsi, memotong-motong raga orang yang sudah tidak berdaya, tidak punya nyawa.
Kejam? Tidak, tidak. Tidak ada kata "kejam" selama kamu melakukannya dengan tujuan baik. Bukankah hal yang demikian ini dilakukan supaya tidak ada malpraktik di kemudian hari? Yup. Jelasnya, merugikan manusia yang masih hidup tentu tidak lebih baik ketimbang merugikan "mayat" yang memang dari sananya sudah mati.
Tetapi kemudian aku dibuat bertanya-tanya, "Bukankah orang yang sudah mati itu lebih baik dikubur lalu diziarahi? Itu lebih manusiawi."

Sekonyong-konyong terlintas cerita mengenai Qabil dan Habil. Bahkan gagak pun masih tahu cara memperlakukan sesamanya yang mati dengan cara "dikubur". Lantas, apakah hal ini mengindikasikan bahwa dokter adalah suatu profesi yang "jahat", "tidak tahu adab", "kejam", berikut sebutan-sebutan lain yang mendeklarasikan suatu keadaan di mana sopan santun terhadap orang yang sudah mati tiada lagi eksis? Aku tidak mau menjawab. Menurutku, ini terlalu memihak yang alasannya hanya didasarkan kepada satu sudut pandang.

Kemudian bagaimana? Apakah kita harus tidak memanusiakan untuk memanusiakan? Di satu sisi, mendalami dunia medis diperlukan guna meningkatkan kualitas kesehatan. Namun di sisi lain, norma mengenai orang yang sudah mati juga tidak bisa dienyahkan begitu saja. Mayat yang digunakan sebagai bahan latihan bedah biasanya merupakan mayat tanpa identitas. Nah, sudah membedah-bedah badan orang, yang dibedah tidak diketahui pula identitasnya. Bagaimana jika ada anggota keluarga sang mayat yang masih sangat menanti kepulangannya? Bagaimana jika ternyata, mayat tersebut masih memiliki tanggungan beserta hal-hal lain yang belum terselesaikan? Agak drama sedikit, bagaimana jika sang mayat merupakan seorang ayah yang diharap-harap senyumnya oleh seorang anak perempuan berpipi merah? :')
Ah, ini begitu kompleks.

Pernah suatu hari adikku bilang begini: "Manusia nanti ketika dibangkitkan kembali, diharuskan untuk mencari jasadnya masing-masing". Pernyataan semacam ini masuk ke dalam perspektif agama, sih. Tetapi bukankah kalau ini benar, maka akan sangat celakalah mereka yang jasadnya tidak ditempatkan dengan baik? Apalagi dipotong-potong sedemikian rupa. Sungguh, aku tidak bisa membayangkannya.

Tidak memanusiakan untuk memanusiakan? Mungkin beberapa dari kalian memiliki pemikiran seperti ini: "Ah! Yang namanya mayat, tidak bisa dimanusiakan! Mereka sudah mati, bagaimana cara kita memanusiakan mereka?"
Sebenarnya, memanusiakan di sini lebih condong kepada cara kita memperlakukan mayat tersebut. Benar… kita tidak bisa memanusiakan mayat, tetapi dengan menghargai mayat (dengan tidak memutilasinya sedemikian rupa) setidaknya kita sudah memanusiakan diri kita sendiri. Really, it's very complicated ketika lagi-lagi kita harus menghubungkan kembali tujuan calon dokter menjalankan "ritual" tersebut.

Jadi bagaimana baiknya? Entah… kupikir setiap tindakan pasti memiliki esensi. Terlebih lagi, yang demikian ini sudah terjadi sejak sangat lama.

0 Komentar