[[PROSA]] - Menuju Taman Eden


Setelah membunuh saudaranya, Ayin tak bisa lagi pulang ke rumah. Ia yakin, tak akan ada maaf dari mulut ibu maupun bapaknya. Lagipula ia tak terlalu berharap bisa dimaafkan, karena apa yang membuat pembunuhan ini terjadi sejatinya adalah karena orangtuanya sendiri yang selalu pilih kasih. Ayin tak sepintar Avel, ia tahu. Tak serajin Avel, ia tahu juga. Pun tak semenurut adiknya yang tiap kali disuruh membersihkan tahi kambing, pasti akan ia bersihkan.

Kuping Ayin dipenuhi kerikil-kerikil dan debu. Ia selalu membantah, kemudian melakukan apa yang hanya ingin ia lakukan. Apa yang ada di pikirannya, itulah yang mampu membuat kedua tangan Ayin bergerak. Bukan perintah-perintah memekakkan yang tiap hari menyumbang kelelahan hingga wajahnya ditutupi peluh. Tapi sampai langit mendekap lagi bumi, rasa-rasanya orang seperti Avellah yang bakal terus mendapatkan kemuliaan. Orang yang tak pernah memiliki dirinya sendiri. Mungkin karena berpikir bahwa ia itu tiada berharga, tiada berguna bila kelak hidup di atas kaki sendiri, maka apa yang ada padanya selalu dibagi-bagikan untuk orang lain. Ayin tahu itu ketika melihat ibu, bapak, dan saudara-saudaranya. Mereka selalu suka diberi. Dahi mereka baru akan berkerut bila bertemu dengan apa yang tak membuat mereka menerima lebih. Seharusnya mereka itu sama sebab Ayin juga hanya bakal bertindak jika untung lebih banyak ketimbang rugi. Lantas apa yang membuat Ayin jadi keparat sementara mereka tidak?

Begitu panjang setapak yang Ayin lalui. Pinggir-pinggir jalan itu dipenuhi ilalang, rumput-rumput liar, berbeda dengan jalan-jalan di rumahnya yang hanya terdapat pohon buah yang rasanya manis serta berupa-rupa kembang mekar. Suatu saat ia takut menyesali yang telah ia lakukan: kabur, mendustakan nikmat, tapi ketakutan atas murka kedua orangtuanya lebih besar, hampir-hampir memecahkan setengah hatinya seperti martil yang dijatuhkan ke atas balon air. Bangkai tubuh saudaranya terus mengikuti seretan tangan Ayin. Laki-laki itu membawa mayat Avel pada rambutnya. Darah yang hitam menyirami tanah, nampak tak akan beku sekalipun kulit mereka digempur angin dingin sedemikian sering.

“Orangtuaku tak pernah adil padaku. Tak pernah peduli terhadapku. Sama sekali tak menyayangiku. Begitu pula Tuhan.” Mulut Ayin bergumam dalam bahasa yang tak pernah ia tahu bagaimana cara terciptanya. Bibirnya hitam ditempeli lumpur. Sekarang ini ia marah sekaligus takut. Bapaknya sering berkata, tanah yang mereka pijaki ada di bawah mata Tuhan, dan Tuhan itu maha melihat karena tak pernah tidur. Namun saking besarnya, Tuhan tak akan dapat dilihat balik.

Sebelumnya Ayin hanya menganggap cerita itu sebagai hal fiktif yang bapak ibunya karang dalam rangka melahirkan sebentuk upaya pencegahan terhadap sesuatu-sesuatu yang ia dan saudara-saudaranya dapat perbuat, di mana sesuatu-sesuatu tadi bisa saja memelesetkan kaki kemudian membawa si orangtua jatuh ke dalam sumur kepahitan tanpa keduanya mampu memanjat keluar kembali. Akan tetapi, telah nampak kemarin oleh sepasang bola matanya seberkas petir yang meledak lewat celah langit untuk mengadakan komunikasi dengan bumi di waktu yang satu. Tuhan benar-benar ada di atas kepala mereka! Kesadaran terhadapnyalah yang membuat Ayin gemetaran saat ini. Bisakah ia bersembunyi?

Ia ingin berpikir bodoh seperti, ah, jika aku bergeser sedikit, pastilah aku tak akan nampak lagi, tapi sejak air matanya mengalir deras membawa penyesalan-penyesalan, perkara bodoh dan tidak bodoh itu menempati ruang-ruang yang tak ada dalam tubuh dan jiwanya. Ayin terhanyut dalam iman. Sekali lagi, ia marah sekaligus takut. “Tetapi Ya Tuhan, maafkanlah aku.”

Ayin mengempaskan diri ke tanah. Mayat Avel teronggok di sebelahnya dengan mata terbuka. Demikian pula mulutnya yang nampak seperti sedang melolong. Oleh Ayin, ditatapi terus Avel yang sudah mati itu lekat-lekat. Bisa saja setelah ini malaikat turun dan menebas lehernya dengan pedang cahaya. Bisa saja setelah ini neraka jatuh menimpakan batu-batu lahar kepadanya. Atau bisa juga, Tuhan sendiri yang akan terbang menemui Ayin atas nama penghukuman, memotong-motong tangan si lelaki yang sudah dengan berani menumpahkan darah saudara kandungnya di muka sebongkah batu, kemudian membiarkan nyawanya abadi dalam raga cacat yang cuma bisa mengeluarkan jerit tangis. Siksaan yang keji.

Kini seluruh ternak Avel akan diurus oleh yang bukan Avel. Ladang Ayin akan diurus oleh yang bukan Ayin. Sebab Avel telah mati, dan Ayin pergi jauh. Tiba-tiba kepala Ayin menjadi berat dan ia pun berteriak. Seekor burung gagak menampukkan sebelah sayapnya, terbang begitu dekat di sebelah telinga si lelaki.

“Ah, terkutuk kau gagak!” tukas Ayin lantang. Dadanya terasa sakit saking kerasnya terkejut. Ayin sempat berpikir yang menyentuh rambutnya tadi adalah tombak salah seorang kerubim.

Tak lama setelah kedatangan gagak itu, muncul gagak lain dari arah seberang. Mereka berebut sepotong daging yang entah apa itu sebutannya dan bertengkar hebat. Gagak yang tadi menempeleng kepalanya menang, sedang lawannya terkapar tanpa daya. Salah satu di antara mereka sekarang mati, menyisakan satu lainnya yang hidup.

Ayin menengok pada Avel yang bisu. “Sesungguhnya aku melihat diriku pada gagak yang tangguh itu, dan melihat dirimu pada gagak yang berbaring. Kau memang suka memberi, tapi lantas mengapa hanya pada permintaanku kau menolak memenuhi? Apa kau dendam padaku sebab aku ini lebih tampan darimu, dan punya kembaran yang lebih cantik daripada kembaranmu? Aku ingin menuduh kau sebagai seseorang yang suka iri, tapi jika begitu, aku justru nampak menyedihkan sebab jelas yang sedari awal iri adalah aku.”

Gagak yang masih hidup menggoyang-goyangkan cakarnya mengeruk tanah. Mengangalah sebuah parut setelah itu. Ayin melihatnya, dan terus melihatnya hingga si gagak mati lenyap dari pandangan tertimbun pasir, tanah, kerikil-kerikil, dan mungkin juga sisa-sisa kotoran ayam yang pernah berak di tempat itu. Perang atas makanan selesai. Gagak yang menang melayang ke angkasa, merayakan keberhasilannya dengan berkoak.

Ayin bangkit. Diciumnya kening Avel berkali-kali. “Maafkan aku saudaraku, maafkan aku. Sesudah ini aku mungkin hanya akan hidup sebagai pendosa. Dibenci banyak orang. Tidak seperti engkau yang selalu dipedulikan dan disayang.”

Kedua tangan Ayin meraih batu yang lebar dan tipis lalu menyuruk tanah. Air matanya menetes lagi sedikit demi sedikit. Sembari membuat kuburan, ia menyanyikan rasa penyesalannya dalam nada yang sangat amat pilu.

******

Matahari terbit. Kucuran darah hilang disesap bumi. Ayin termenung di samping makam Avel. Tak ada yang bisa laki-laki itu lakukan setelah ini. Tak ada.

“Apa yang kau lakukan?” Sebuah suara dari arah timur menyentil telinga Ayin.

Ayin sontak menoleh. “Aku sedang menunggui kuburan saudaraku.” Laki-laki itu lantas mengamati sosok yang mengajaknya bercakap. “Siapakah engkau ini?”

“Aku adalah juga saudaramu dari negeri yang sangat jauh.”

Ayin diam sejenak. “Apa yang kau inginkan?”

“Kudengar kau benci pada orangtuamu karena terlalu pilih kasih?”

“Apa urusanmu dengan itu? Enyahlah!”

“Kau menyambutku dengan tidak baik. Aku ini saudaramu.”

Ayin tak membalas. Dipalingkannya muka menghindari tatapan sang lawan bicara.

“Jika kau begitu bencinya, mengapa tak kau bunuh pula mereka? Bukankah akan sama saja seperti ketika kau membunuh Avel? Kau tinggal memukulkan batu ke kepala mereka, lalu mengubur keduanya di bawah tanah.”

Ada keheranan tersendiri selepas mendengar perkataan itu. Ayin mengempaskan napasnya yang sedari tadi tertahan. Giginya bergemelatuk. Hidungnya kembang kempis menguapkan amarah. 

“Bagaimana?! Kau iblis! Beraninya kau datang kembali padaku dan memperkenalkan diri sebagai saudara setelah menjejalkan rasa dengki dalam mulutku?”

“Apa yang membuatku terkutuk sementara kau tidak? Kau yang membunuh Avel!”

Ayin tertegun. Sebenarnya pernyataan itu hampir mirip dengan apa yang tadi ia pikirkan. Apa yang membuat ia jadi keparat sementara saudara-saudaranya yang lain tidak, ketika mereka sama-sama merupakan pengagum kenikmatan?

“Kau benar. Aku yang membunuhnya dan aku yang menanggung dosa atas pembunuhan ini. Sekarang ini aku memang saudaramu,” ujar Ayin. “Saudaraku bukan lagi Avel, bukan pula si anu dan si anu. Saudaraku adalah kau.”

Si iblis tersenyum. Keluar ringkikan seperti kuda dari moncongnya yang berduri. Perlahan-lahan betisnya yang lurus membengkok. Badannya yang tegap membungkuk. Tangannya menjadi kaki. Dan matanya yang sipit membesar hingga putih tampak lebih banyak daripada hitamnya.

“Naiklah ke atas punggungku. Kita akan pergi,” kata iblis yang sudah menjelma keledai.

“Ke mana?” tanya Ayin.

“Ke Taman Eden.”

“Apa itu Taman Eden? Dan di mana lokasinya?”

“Nanti juga kau akan tahu.”

Ayin menurut dan keledai kembali meringkik. Entah bagaimana tiba-tiba Ayin teringat sang ibu. Di samping jalan yang mengandung sungai, lelaki itu melihat pantulan wajahnya. Dia dan ibunya memang mirip.

Mereka pergi, menyembahkan diri untuk ditelan matahari.

0 Komentar