Setiap kali Jenar mengatakan “Ya Allah”, sebenarnya setiap kali itu juga dia ragu apakah “Ya Allah” itu punya makna atau hanya kata selingan seperti “lho”, “kan”, dan “wek” yang bahkan ketiganya tadi punya kekuatan untuk mendukung maksud pokok, tidak seperti “Ya Allah” yang abstrak. Sekarang, kenapa dia mengatakan “Ya Allah” itu? Di hidupnya yang semakin lama semakin sulit, kadang kali terlintas di benak Jenar untuk jadi ateis. Biarkan saja bapak ibunya mengamuk. Jadi, istilahnya ini semacam acara untuk balas dendam kepada Tuhan.
Tempo hari, tidak ada hujan, tidak ada petir, tiba-tiba datang surat tagihan dari bank. Katanya Jenar sudah lama menunggak utang dengan jumlah cukup besar. Setidaknya untuk ukuran laki-laki itu yang masih pegawai baru. Jenar tidak tahu apa yang terjadi, tapi data yang tertera pada berkas-berkas yang diberi bank adalah data miliknya asli. Tentu saja dia kemudian lapor polisi. Keadaan semakin lama semakin runyam. Temannya bilang, kemungkinan paling masuk akal adalah bahwa ada orang lain yang memakai data-data pribadi Jenar untuk melakukan pinjaman. Soal bagaimana orang itu melakukannya, Jenar tak mau memusingkan. Yang jelas mereka bajingan, keparat, dan calon penghuni neraka.
“Ya Allah,” gumam Jenar. Dia mengatakan “Ya Allah” lagi. Dia lupa beberapa menit lalu sempat mengadakan konflik batin untuk menemukan arti ucapan itu. Juga tentang keinginan menjadi ateis. Dan sekiranya bagaimana mungkin Jenar masih percaya hukuman berupa neraka, ketika dia memutuskan hanya mempercayai sesuatu bila sesuatu itu dapat dijangkau secara empirik? Jenar masih belum benar-benar serius ternyata.
“Ya Allah.” Lagi, Jenar mengucap demikian. Di balik meja kerjanya, pegawai 26 tahun itu mengusap muka. Layar komputer menyala tanpa arti. Oleh sebab dia lelaki, Jenar tak pernah dibolehkan menangis. Sekali saja tak pernah air matanya menetes kecuali jika badannya sedang sakit atau ibunya yang sakit. Tapi sekarang dia benar-benar ingin menangis dan berteriak. Meski sudah lapor polisi, orang-orang bank sekali dua kali terus melayangkan panggilan ke nomor teleponnya.
Hatinya sudah lelah, kalau bisa mungkin lebih baik dia mati saja. Bisa jadi tidak akan lebih baik, tapi setidaknya dia bisa berkelit dari semua urusan pelik ini. Mati adalah cara paling murah, ketimbang dia pergi ke luar negeri, membuat identitas baru, menyuap polisi, melakukan operasi plastik atau bahkan membayar utang itu sendiri. Tapi kenapa dia harus menggelontorkan uang untuk membayar apa yang tak pernah dia pinjam?
Tiba-tiba Jenar merasakan bahunya ditepuk. Dienyahkan olehnya kedua tangan yang menutupi muka guna menengok siapa yang melakukan itu. Aryo, teman sekantor Jenar yang paling dekat sejak kali pertama dia masuk mengedikkan kedua alis kepadanya.
“Masih mikirin yang kemarin?” Aryo menarik kursi yang ada di sudut ruangan, membawanya ke sebelah tempat duduk Jenar. “Mbok yo dilakoni nggo ati legowo.(1)”
Buku jari Jenar mengetuk pelan meja. Matanya menghindari kontak dengan sosok di sebelahnya, takut ketahuan kalau sedang ingin sesenggukan. “Gimana mau sabar…? Aku nggak pernah ngapa-ngapain, tiba-tiba punya utang.”
“Namanya hidup juga kadang nggak adil,” balas Aryo.
“Halah!”
Teman Jenar itu lantas tertawa. Terdengar agak kecut. “Jangan dipikirin teruslah! Stres nanti! Nggak waras lama-lama.”
“Babah! Wong aku ki wes kesel dadi wong waras!(2)”
“Mau jadi orgil?”
“Selama nggak bikin pusing ya kenapa nggak?”
“Waduh.” Aryo mengusap-usap dahinya. Laki-laki dengan kulit sawo matang tersebut berhenti sejenak sebelum melanjutkan percakapan. “Butuh hiburan kamu ini.”
Jenar menghela napas dalam. Kata-kata Aryo terasa sangat tidak masuk akal. Bukannya hiburan, yang paling dibutuhkan Jenar saat ini adalah uang. Masa dia tidak paham? Jenar sejujurnya tidak ingin bersikap dingin pada Aryo, apalagi sejak dia adalah teman yang paling dekat. Namun saat ini Jenar sedang kesal bukan main. Kalap. Marah. Jengkel. Seperti tidak ada yang bisa dia lakukan selain menahan didihan darah yang dia tidak yakin sampai kapan akan mampu. Sewaktu-waktu, tidak mustahil kepalanya meledak pecah.
“Malam kamu ke mana, Nar?” Aryo membuka pembicaraan lagi.
“Kuburan,” jawab Jenar singkat.
“Lah, dalah! Wes, kamu ikut aku ae nanti!”
Jenar mengernyit. “Ke mana? Ngapain juga?”
“Ngepet!” Aryo bangkit dari kursi, membenahi celana yang sedikit kusut. “Butuh duit kan?”
“Peh, ra nggenah blas(3) kamu ini, Yo, Yo!”
******
Jenar kadang-kadang berpikir tentang arti namanya. Hasan Miftah Jenar. Bagian Miftahnya nampak seperti nama perempuan bagi dia. Ibunya dulu sering bilang, itu nama orang-orang yang hebat agama. Mulia juga. Apalagi Jenar nama seorang sufi, kata ibunya waktu itu. Tapi toh buat Jenar, tetap saja akhirnya sang sufi mati karena dihukum. Artinya, dia tetap manusia biasa yang di mata beberapa orang ada salahnya.
“Ayo, Nar!” Aryo berdiri di depan meja kerja Jenar, memasukkan kedua lengannya ke dalam jaket. “Wayahe, wayahe.(4)”
Jenar lantas membereskan beberapa berkas yang masih tersisa di atas meja, meletakannya dalam satu lampiran, dan menyimpannya di laci. Wajah laki-laki itu sangat datar. Jenar tak mau tersenyum, tak mau pula merengut. Beberapa wanita pernah bilang mereka menyukai Jenar justru karena mimiknya yang begitu. Jenar lebih rupawan bila sikapnya dingin. Kendati demikian, Jenar tak pernah menggubris mereka sampai saat ini.
“Nesu ae(5) kamu ini!” kata Aryo sembari menepuk-nepuk punggung Jenar.
“Bah!(6)”
Kedua pria tersebut lantas berjalan keluar kantor menuju parkiran. Setelah adzan maghrib, langit berlarut-larut menggelap. Biasanya Jenar tak melewatkan waktu sholat yang rakaatnya sedikit. Tetapi hari ini beda. Jenar dengan sengaja melewatkan ibadah karena sedang marah pada Yang Disembah itu. Masa bodoh, pikirnya. Kali ini, mungkin dia akan benar-benar ngepet lalu membuat pesugihan.
Bunyi knalpot motor Aryo dan Jenar menderu beradu di tengah jalan raya. Masih tersisa sedikit jingga matahari di angkasa. Udara yang harusnya mulai dingin juga masih terasa hangat di punggung tangan Jenar. Padahal jalanan tidak sedang ramai maupun macet. Malah, sangat lowong. Sangat aneh karena keadaan tidak bersikap sebagaimana ia wajarnya bersikap.
Setelah melewati beberapa tikungan, Aryo menuntun Jenar berhenti di mulut sebuah gang kecil. Tempat itu jauh lebih gelap dibanding tempat-tempat di sebelahnya. Hanya ada beberapa lampu gantung yang cahayanya sudah pudar. Remang-remang. Satu di antaranya menyala-redup, tanda sudah harus diganti.
“Ini namanya lampu disko proletarian.” Aryo berseloroh seraya menunjuk lampu yang menyala-redup itu.
“Tempat apa ini?” tanya Jenar. Hatinya merasa tidak enak. Selain kurang cahaya, tempat ini juga diseliweri bau menyengat parfum.
“Udah, ayo masuk aja…!” tukas Aryo tanpa ada niatan menjawab pertanyaan Jenar.
Mereka melangkahkan kaki lebih dalam menuju gang. Betapa terkejutnya Jenar setelah gang kecil itu habis dilewati. Bangunan-bangunan wisma berjejer menampilkan wanita-wanita dengan pakaian serba pendek di balik dinding kaca. Dandanan mereka sangat mencolok. Bibir merah menyala adalah satu yang sama dari semua wanita di sana.
“Cuk(7), raimu lapo nggowo aku mrene?!(8) ” umpat Jenar. Alisnya tertaut satu sama lain.
Aryo mengangkat kedua tangannya. “Kamu tuh butuh hiburan. Sekali-sekali jajanlah. Segerin diri. Jangan nesu terus.”
“Tapi nggak di sini juga!” Jenar makin naik pitam. Seumur hidupnya, dia tak pernah berpikir untuk menginjakkan kaki di tanah pelacuran. Sangat menjijikkan baginya.
“Terus di mana?” Aryo masih menunjukkan wajah santai.
“Pokoke nggak nang kene!(9)” Jenar berpaling. Laki-laki itu bergegas meninggalkan sang teman yang masih berdiri di tempat.
“Nar! Jenar!” Aryo berteriak memanggil. Tetapi Jenar tidak mengindahkan. Jenar pergi, memacu motornya membelah jalan raya lagi.
******
Di atas motor, Jenar merenungkan apa yang baru saja terjadi. Tak pernah sekalipun terlintas di benaknya Aryo akan membawanya ke tempat seperti itu. Bagaimana mungkin?! Tadi pagi Aryo menyuruh Jenar untuk tetap jadi orang waras, padahal sesungguhnya temannya itu sudah lebih dulu gila.
Di balik helmnya, Jenar mengomat-ngamitkan mulut tidak jelas. Mengumpat, meracau, tapi juga sedikit-sedikit istigfar. Bukannya rileks, setelah ulah Aryo tadi Jenar malah semakin frustrasi. Ketika dia melintas di suatu kampung, mata Jenar mendapati sebuah musholla. Waktu maghrib sudah habis sejak tadi. Isya’ pun sudah lewat satu jam.
“Tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali,” gumam Jenar. Dia merasa gagal. Baik untuk menjadi orang baik, maupun menjadi orang buruk. Laki-laki itu lantas memacu motor mendekat ke muka musholla. Lupakan saja keinginan jadi ateis. Di hari-hari sebelum hari ini, Jenar tak pernah absen untuk sholat.
******
Hari yang sangat melelahkan. Malam ini bulan purnama. Tidak terlalu tajam warnanya. Kuning puyeh. Awan-awan berjalan tipis selayaknya kabut di atas gunung. Dua-tiga bunyi serangga menghindarkan suasana dari kesepian hakiki. Dahan bergoyang. Ranting melambai-lambai meski tak mengucapkan selamat tinggal.
Jenar mengehela napas. Laki-laki dengan balutan kemeja biru itu masih berdiam diri dalam surau. Hidupnya sudah mulai harus direnungi dan direnungi. Alangkah lebih bagus bila dia merenung setiap hari, ingat mati dan berdoa 24 jam. Dengan begitu, dia tidak akan berpapasan dengan kesusahan. Tidak usahlah pergi bekerja, menengok dunia luar yang hanya menawarkan duri.
Tiba-tiba Jenar mendengar suara tangisan. Di sebelah tempat salat untuk laki-laki, terdapat pembatas yang agak besar. Dari balik pembatas itulah suara tadi bermuara. Jenar mengernyitkan dahi. Seingatnya tadi tidak ada siapa-siapa di sini. Lalu suara apa itu? Hantu? Setan?
“Kalau benar, berarti setan ini sudah sangat terkutuk.” Jenar bangkit. Dia berjinjit, melongokkan kepala melewati puncak pembatas yang untungnya hanya mencapai pelipis. Didapati oleh lelaki itu seorang perempuan berbungkus mukena putih tengah sesenggukan dengan segala sedu-sedannya. Jenar bisa melihat mata si perempuan yang agak bengkak. Hidungnya pun memerah seperti orang yang terkena pilek.
Jenar tak berkata apa-apa. Dia cuma diam memandangi perempuan tersebut. Beberapa saat, yang dipandangi menoleh, membalas tatapan Jenar.
“Apa lihat-lihat?” seru si perempuan ketus. Kendati begitu, suaranya lemah sekali.
“Kenapa kamu nangis?” Jenar menjawab dengan pertanyaan. Lelaki itu masih berjinjit. Entah sampai kapan dia akan betah.
“Tidak apa-apa.” Yang diajak bicara mengusap air mata. “Cuma sudah lelah hidup.”
Mata Jenar terbuka penuh seusai mendengar tuturan tersebut. Jadi, di dunia ini ternyata bukan hanya dia yang lelah hidup. Lelah jadi orang yang berpikir dan menggunakan pikiran. Perempuan di depannya ini juga. Kira-kira ada berapa lagi orang yang punya persepsi seperti mereka?
Tidak ada balasan dari mulut Jenar selepas jawaban tadi. Jenar hanya memandangi sosok di hadapannya dengan taat. Cantik sekali perempuan itu. Kulitnya putih bersih seperti air susu dan kemerah-merahan di kedua pipi. Alisnya tipis sangat simetris. Seumur-umur Jenar belum pernah menemui gadis yang cantiknya seperti dia di dunia nyata. Paling-paling, Jenar melihat gadis-gadis putih itu dari layar televisi atau ponsel.
“Pernikahan aku gagal.” Si perempuan meneruskan penjelasan tanpa diminta. Mata Jenar yang penuh terbuka kini makin membelalak. Bibirnya mengatup rapat. Bukan alasan yang telah diungkapkan yang membuat Jenar demikian, tapi keberanian gadis itu: yang bicara sangat santai pada seseorang dari antah berantah seolah dirinya tak punya rahasia untuk dilindungi.
“Kenapa?” Jenar bertanya lagi. Rasa menyesal dan takut dipandang bodoh menggedor-gedor dadanya selepas kata tanya itu berakhir. Kenapa dia tanya ‘kenapa’?
“Memang bukan jodohnya,” jawab si perempuan. “Dia selingkuh.”
“Tapi kamu cantik.” Lagi-lagi mulut Jenar bertindak di luar kendali. Sepersekian detik, tidak ada pilihan lain selain melanjutkan ketidaktaatannya pada otak itu bila tak ingin malu. “Apa benar-benar bisa diselingkuhi?”
Lawan bicara Jenar tergelak kecil. “Cantik itu bukan jaminan.”
Kekesalan yang menghuni jiwa Jenar beberapa jam lalu sekonyong-konyong hilang. Pergi entah ke mana. Mendengar tutur perempuan itu sedikit membuat hati Jenar lega. Jenar tidak mau menyebut dirinya bahagia di atas penderitaan orang lain, tapi sungguh, bertemu orang yang sama-sama sedang sedih itu seperti berbagi kesedihan. Setidaknya Jenar tahu bahwa yang merasa dirugikan takdir Tuhan itu bukan cuma dirinya.
Perempuan bermukena putih itu menangis lagi setelah sempat tergelak. Kali ini lebih halus. Sungguh menyayat hati menyadari bahwa tangisan itu hadir karena suatu hal konyol: perselingkuhan. Padahal dia sangat cantik. Cantik sekali. Seharusnya tidak mungkin ada laki-laki yang membuang gadis cantik seperti dia.
Melihat ironi yang terpampang di hadapannya membuat Jenar berpikir sekelebat. Selama ini ada banyak hal baik yang menimpanya, tidak hanya hal buruk. Tapi kenapa hanya pada saat tidak beruntung, Jenar mengumpat-umpat? Sekalipun sembahyang lima waktu, Jenar pikir dirinya tidak benar-benar selalu bersyukur dengan apa yang telah terjadi dan dimiliki.
“Kadang-kadang aku pengen jadi ateis. Tapi betapa pun seringnya keinginan itu muncul, tetap saja aku kembali ke tempat ini.”
Jenar terkejut. “Hah?!”
“Padahal aku wis kesel dadi wong waras.”
******
Catatan kaki:
[1] Dijalani saja dengan hati sabar. (Jawa)
[2] Biarin! Orang aku ini sudah capek jadi orang waras! (Jawa)
[3] Duh, nggak benar banget… (Jawa)
[4] Waktunya, waktunya. (Jawa)
[5] Merajuk saja… (Jawa)
[6] Biar! (Jawa)
[7] Penggalan ‘Jancuk’ (bersetubuh); umpatan dalam jejawaan.
[8] …kamu kenapa bawa aku ke sini? (Jawa)
[9] Pokoknya nggak di sini! (Jawa)

0 Komentar