[[REVIEW]] - 27 Steps of May



Ini bukan review yang panjang. Aku cuma ingin mengungkapkan hal “ngganjel” saat nonton film ini. Aku nggak begitu ngeh dengan durasi pastinya, tapi menurutku film ini sangat tidak padat. Bolong-bolong. Memang aku baru tiga kali ke bioskop, tapi dibanding dua film yang pernah aku tonton (Captain Marvel dan Headshot), cuma film ini yang bikin aku menguap. Saat itu aku memang dalam kondisi capek, sudah hampir malam juga, tapi itu sama sekali bisa diatasi kalau cerita yang disajikan si film bulky, berisi. But this is not. Alurnya, sekali lagi, bolong-bolong dan sangat abstrak. Kurang punya detil. Setidaknya untuk ukuran film yang tayang di bioskop lho, ya. Padahal kuakui, Headshot punya alur yang kerdil. Tapi aku tetap menemukan tanjakan seiring bertambahnya durasi. Tidak seperti 27 Steps of May. Dengan permohonan maaf sebesar-besarnya, aku katakan, alur film ini acak-acakan  Kalau hanya untuk ditulis, sebenarnya nggak masalah. Aku ngerti mana introduksi, konflik, klimaks, antiklimaksnya dan bla-bla-bla. Tapi ide pemilihan sudut gambar dan cara mempertemukan tokoh-tokohnya sedikit terasa aneh. Selama nonton aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa aliran film ini? Realistis atau fantasi?

Di sisi lain, kerealistisan ditemukan pada adegan bapak May. Saat dia tinju, cara dia berkomunikasi dengan orang-orang, sekiranya hal ini dapat kita temukan di dunia nyata. Tapi di sisi lain interaksi May dan si pesulap ini kok fantastic banget :’D Dan karena aku udah terlanjur menganggap sisi itu sebagai sesuatu yang dreamy, aku jadi kurang suka ketika muka si pesulap dihamparkan dengan jelas :’D (kebiasaan karena selama ini dijejali film-film yang mengusung idealisme bahwa sosok yang menjadi motivator ketika kau lelah adalah dia yang misterius dan mukanya rata, cuma pake tanda tanya). Sosok ini profesinya pesulap. Kan kental sekali dengan unsur misterius? Apalagi cara mereka bertemu lewat tembok yang bolong :’D Puncaknya adalah ketika bapak May menonjok si pesulap yang oleh para kru film ini dengan berani dipijakkan kakinya ke kamar May :’D Jadi gue tanya lagi, ini realistis apa fantasi? Duh, kumerasa ini seperti makan soto campur selai stroberi. Kalau sudah ada kontak fisik, berarti kan sosok pesulap ini riil? Tapi bawaan dia dalam peran seolah tidak terlalu ditonjolkan. Mungkin maunya pesulap ini dijadikan side item yang punya pengaruh besar, tetapi penempatannya kurang pas menurutku.

Kemudian untuk beberapa scene aku kurang sreg juga. Salah satunya adalah adegan makan. Sebenarnya ini masalah kecil saja sih, tapi menurutku ini benar-benar empuk untuk diserang. Yaitu ketika mereka makan dengan peralatan makan yang terlewat lengkap ketika make-up bapaknya nggak menunjukkan “walaupun tampangnya begitu, sesungguhnya dia kaya”. Sendok dan garpu? It’s still ok. Tapi mengindependenkan lauk dengan nasi di wadah yang bukan sungguh-sungguh besar dan sungguh-sungguh kecil rasanya nggak akan kita temui di kehidupan masyarakat menengah cenderung ke bawah. Yang lain, emm… mungkin pengenalan konflik besarnya (maksudku, saat May diperkosa) agak terlalu cepat. Kemudian untuk pakaian si May. Ya… karena ceritanya dia “menyerempet gila”, dalam kasus ini mentalnya nggak stabil, it’s ok-lah.


Di balik kekurangan-kekurangan versi aku di atas, aku juga punya sanjungan-sanjungan untuk film ini. Kualitas sinematografinya sangat baik dan memuaskan. Bisa disejajarkan dengan film-film bioskop Indonesia papan atas lain. Tapi ingat, sejajar lho, ya. Sejajar :p

Kemudian, yang paling aku suka adalah akting tokoh utamanya, May. Aku nggak tahu nama aktrisnya siapa XD tapi akting dia benar-benar ciamik. Sangat detil dan rapi. Cara dia ambil posisi, gerakan, bahkan jari-jarinya ketika adegan traumanya kambuh. Yang kurang cuma saat dia nyilet tangan sih. Gemetarnya masih nampak besar-besar, but it’s ok-lah. Kalau aktingnya Lukman Sardi… yah karena sepengetahuanku dia bukan aktor yang kaleng-kaleng, jadi bisa disimpulkan sendirilah bagaimana. Cuma (lagi), aku kurang suka (lagi) sama akting tinjunya. Istilahnya, masih kurang rapat. Untuk tokoh-tokoh lain… mm.. ya begitulah. Sejauh ini untuk side character aku dapet feel cuma dari temannya bapak May yang suka bilang: istilah kata, serta kakek yang jadi bos di tempat tarungnya si bapak. Saya nggak tahu namanya, tapi saya sering lihat mukanya nongol di film-film XD Pokoknya antara yang kaleng-kaleng dan bukan kaleng-kaleng terlihat jelaslah di film ini.

Akhir kata, yang dapat saya simpulkan adalah:

Sinematografi: 8/10
Akting: 8,5/10
Art: 7,5/10
Skoring: 7,5/10
Alur: 3/10 (termasuk kelogisan dan cara membawa emosi penonton)

Nah, itu. Wkwkwkw Btw, kok reviewnya jadi 700+ kata begini, ya? Padahal di awal sudah teranjur ngomong nggak panjang :v Pesan dalam film ini memang tersampaikan dengan baik dan dengan cara yang spesial. Tapi cara membawanya sangat-sangat perlu peningkatan. Yang bisa kuramal sih, kalau orang pertama kali nonton film ini nggak dari bioskop, sudah pasti tingkat kepuasannya ada di bawah yang nonton di bioskop (cuma sotoy).

Mungkin aku akan banyak review film mulai dari sekarang. Jadi diriku, tolong persiapkan dananya ya :’ D

Sampai jumpa di postingan berikutnya! Bye bye!


0 Komentar