[[REVIEW]] - Maleficent: Mistress of Evil

Okay, here we go. Aku tidak akan berkata hal lain seperti: apa yang membuat aku muak dengan orang-orang yang menonton bioskop belakangan ini, sama sekali tidak. Kenapa tidak? Karena aku menahannya. Dan berhubung hal ini tidak punya kaitan dengan review objek, jadi lupakan saja.


Sudah lama aku tidak nonton film di bioskop. Hari ini adalah kali pertama aku pergi ke bioskop lagi setelah film 27 Steps of May. Cukup lama nggak, sih? Ada banyak sekali rencana, tapi selalu gagal karena tidak ada yang benar-benar niat merealisasikan. Wkwkwk. Pada kesempatan kali ini, aku akan membahas film terbaru besutan Disney, Maleficent: Mistress of Evil. Sounds good, right? Apalagi seri pertama film ini banyak mendapat respon yang luar biasa positif. Tak heran sekian orang rela menunggu untuk menyaksikan seri selanjutnya :) (kenapa kata-kataku jadi seperti pembawa acara?) Seperti review film sebelumnya, di sini aku akan memaparkan kekurangan dan kelebihan film dari sudut pandangku. Aku tidak ingin spoiler karena siapa juga yang menginginkannya. Jadi ala kadarnya saja, ya.

Kekurangan dari film ini ada dari segi plot. Kalau kalian baca review-ku tentang film 27 Steps of May, di sana aku menerangkan bahwa plot film tersebut benar-benar kacau. Abstrak dan melompong. Tetapi pada Maleficent, hal ini tidak terjadi. Kekurangannya bukan karena itu. Kiranya aku cukup menanti sesuatu yang benar-benar beda dan segar, but this movie actually has a very very ordinary plot. Rapi, sih. Bagus. Masuk akal juga. Tapi untuk film berjudul Maleficent –yang notabene first serinya dapat banyak penghargaan-?? Jalan cerita yang demikian itu benar-benar biasa ajah. Apakah karena genrenya fantasi, jadi adegan klimaks itu selalu diwujudkan dengan perang? Ternyata colosal would be colosal, guys.

And next, I wanna write down about the existence of Maleficent. Gaes, kalau kalian belajar teori dekonstruksi, ya film ini adalah contoh nyata dari teori itu. Membangun kembali sesuatu dengan bentuk yang benar-benar berbeda dari awal. Nah, tapi menurutku, sebaru apapun bentuk itu, tetap saja ada yang penghubung antara yang baru dan yang lama. Karena kalau tidak ada, bukankah sama saja artinya dengan membuat dua bangunan yang berbeda? Contoh: ada bangunan rumah sakit di jalan Cempaka. Kemudian rumah sakit itu dihancurkan lalu dibuat mall. Coba tebak, apa alasan seseorang bisa mengatakan, "Wah, rumah sakit itu sekarang sudah jadi mall?" KARENA eh karena, rumah sakit dan mall itu ada di tempat yang sama. Penghubung antara yang baru dan yang lama ya itu. Coba kalau rumah sakit itu dihancurkan, dan mall yang baru justru dibangun di Jalan Citrus? Takkan ada yang bilang apa yang sudah aku tuliskan di atas.


Pada kasus Maleficent, penghubung itu ada pada tokoh berikut latar belakangnya masing-masing -yang notabene merupakan unsur paling serius-, berkaca dari cerita klasik Aurora. Pembaruannya hanya diletakkan pada sudut pandang. Kupikir, seluruh perubahan pada teori dekonstruksi memang hanya pada itu, deh :/ EH, sama sifat juga nggak, sih? Hmm… sepertinya tidak, ya. Hanya saja dari wujud (sudut pandang) baru ini, apa yang dirasakan Maleficent, suka dan dukanya, dapat dipelajari. It’s make sense cause she was the protagonist, now. TAPI GAES. TAPI TAPI TAPI. ADA TAPINYA. Kelen tahu nggak, sih?? Maleficent di sini kayak kehilangan auranya buanget. Apapun penjelasan tentang dekonstruksi yang (padahal) gue (sendiri yang) udah paparkan, tetap aja gue nggak terima. WHY SHE ALWAYS SMILING??? IT’S ANNOYING AND MAKE HER LOOKS WEIRD. You must be joking, director. Maleficent ditampilkan terlalu baik sampai rela membiarkan dirinya ditembak besi demi melindungi Aurora. Sumpah, itu nggak banget. Cuih. #NOTE: jangan pernah mengatakan padaku bahwa dulunya Maleficent itu peri baik, jadi ketika dia melakukan hal baik, itu kan bukan mustahil juga.

Menurutku, hal seperti itu malah membuat Maleficent terkesan lemah dan tidak kharismatik. Padahal dia bisa: (1) memeluk Aurora kemudian tiarap. (2) mengibaskan sayap untuk menghalau anak panah, atau mengeluarkan kekuatan magisnya. (3) membunuh langsung ratu. Well, lelucon dramatik macam apa yang Disney sebenarnya ingin tampilkan? Apapun dalihnya, aku yang hanya seorang penonton biasa ini bersikeras menyarankan agar besok-besok adegan seperti itu diberangus saja dari script.

Satu “keunikan” lain dari film ini. Ehm, tidak. Sebenarnya dua. Jadi begini, Aurora itu apa punya kekuatan untuk melihat masa lalu atau bagaimana, ya :’v Tiba-tiba saja saat dia melihat mesin pintal, dia langsung punya pencerahan terhadap apa yang sebenarnya membuat raja mati suri :’v Sungguh kekuatan yang bagus. (HEI, KENAPA PARAGRAF INI SARKAS SEKALI)

Yang kedua adalah penyelamatan Maleficent oleh Conall. Aku hanya ingin berkata: okey, apa aku harus berpikir bahwa kebetulan saja Conall lewat situ kemudian melihat satu makhluk jatuh tertembak, dan karena makhluk tersebut terlihat seperti kaumnya, maka dia menyelamatkannya? Memang sih, tidak semua adegan itu perlu dijelaskan. Tapi kurasa memberi perhatian pada parts kecil itu perlu juga.

Tambahan lain: sub judul film ini "Mistress of Evil", tapi aku merasa bahwa judul demikian tidak benar-benar berarti secara harafiah. Maksudku, Maleficent lho digambarkan sangat baik, dari mana sisi "evil"-nya? Yah, barangkali Disney ingin menunjukkan pada kita bahwa: ini lho, yang kau sebut jahat itu ternyata kayak gini. Heum.

Yah, kurasa kalau kekurangan sekarang ini cuma itu, sih. Kita semua tahu, Disney bukan perusahaan kaleng-kaleng. Jadi sepanjang yang aku lihat, art and property, editing, cinematography quality, and all it’s visual needs doesn’t take a part of what called with “missing”. Oh, satu lagi. Aku agak geli melihat asistennya Ratu Ingrith main piano. Lebay banget, sih. #Catatan: aku harus nonton film ini beberapa kali untuk mendapat pemahaman yang lebih bagus. Review ini hanya review secara garis besar saja.

Selanjutnya aku akan bahas kelebihan film ini :) First thing first, kalian semua harus mengakui bahwa Auroranya tambah cantik, gila D’X She is absolutely looks like me. Blonde hair-nya itu, lho D’X Rahang, hidung, dagu, semua presisi. Melihatnya aku jadi kepikiran seberapa cantik Aisyah itu. Dilihat dari segala sisi itu, lho… nyaman banget. Ya Allah, kalo gue kayak gitu, udah berapa banyak cowok coba yang kecantol? Bahkan gue yakin bisa bikin Udil –yang ganteng dan imut, tapi tidak menyukai perempuan- kesengsem berat. Aihhh.

Hi, baby <3

Dan yak gaes, berhubung ini film Hollywood yang dibintangi aktor/aktris papan atas, aku cukup sulit menemukan celah akting mereka. Singkatnya, perfect-lah. Tidak kurang dan tidak berlebihan. Apalagi ini bukan film sosial realistis. Horizon harapanku tak terlalu kokoh. Heh, tapi Angelina Jolie itu punya proporsi tubuh yang bagus juga, yah. Pas adegan dia bangun setelah terluka, dia kan pakai pakaian seadanya, tuh. Dan wow, I was like, is she really Dark Fey? Terlihat seperti malaikat, cuy.



Omong-omong kalian tahu nggak kalau aku nangis banyak waktu nonton? Hiks. Gue itu selalu tersentuh sama interaksi antar orangtua dan anak. Dan untuk kasus ini, interaksi Maleficent dan Aurora bener-bener bikin hati aku tersayat perih (huh). Maleficent memang digambarkan sebagai sosok yang jahat, namun kasih sayangnya terhadap Aurora itu menyentuh sekali. Saat dia berbicara dengan Aurora, apa yang ia usahakan, pengorbanannya, sungguh, aku nggak kuat. But, tetep aja harusnya Maleficent itu jangan digambarkan terlalu lemah! D’X Nggak suka aku tuh.

ONE MORE THING I SHOULD TELL YOU ABOUT! Aku luar biasa suka sama backsound, scoring, and it’s music. Benar-benar mendukung film. Hmm… dari dulu Disney memang punya selera yang bagus perkara ini. Kayak… sesuatu yang… orang itu selalu bayangkan tapi nggak bisa wujudkan, tetapi Disney bisa. Aku jadi penasaran seperti apa orang yang mendalangi produksi musik Disney selama ini.

Oh, iya. Aku baru saja searching sedikit tentang Maleficent: Mistress of Evil ini. I found something good and you could read it here.

Sinematografi : 9/10
Akting : 8/10 (keseluruhan karakter)
Art : 9.5/10 (aku menghargai kerja keras kalian)
Skoring : 10/10
Alur : 7/10 (bagus tapi biasa ajah sumpah)
Amanat (BONUS) : katanya Nur Hidayah, film ini mampu mengajak kita untuk lebih membuka mata terhadap keharmonisan ekosistem. Maleficent sungguh peri yang cinta lingkungan dan pengendali kayu yang andal seperti Hashirama Senju.

Okeh, jadi sepertinya cukup segini dulu review pada kesempatan kali ini. Aku sudah katakan kalau aku butuh nonton ulang. Jadi mungkin ke depannya (kalau aku benar-benar nonton ulang), review ini bisa saja ditambah atau dirombak. Tidak akan dikurangi kok. Akhir kata, sampai jumpa pada postingan berikutnya! :D


-------
#RALAT: aku ternyata pernah nonton di bioskop lagi setelah 27 Steps of May. Waktu itu KKN di Bandung, dan aku nonton Dua Garis Biru kemudian Spiderman Home Coming. Kalau dipikir-pikir, sekarang aku tertarik untuk bikin ulasan Dua Garis Biru. Tapi sepertinya waktunya sudah tidak cocok. Mungkin aku akan nonton ulang lagi lalu mengulasnya dengan lebih detil supaya dapat dibaca di semua rentang zaman.

0 Komentar