Lelaki itu membersihkan kaca mata lagi untuk kali ke sekian. Gerak-geriknya masih tampak gelisah, tak ubahnya sejak lima jam lalu. Rambutnya yang tadi masih enak dilihat—kau bisa bilang rapi, tapi agak—kini berdiri tak punya bentuk karena terus diacak kasar. Dan, sepertinya dari tempat duduknya, ia menggumamkan sesuatu yang masyarakat sepakat untuk disebut sebagai umpatan, makian, racauan, dan lain-lain tak habis-habis selama matanya mengarah ke layar laptop.
Di belakang meja pemesanan, Jenayah mengulum bibir. Laki-laki berkemeja biru lembut itu sudah menghabiskan empat piring telur mata sapi yang masing-masing piring berisi dua lembar—jadi itu delapan—dengan sosis ayam, dan tiga gelas es moka. Sampai sekarang masih dipelototi olehnya mesin ketik di sana yang mungkin sudah mau meledak. Apa dia tidak mengantuk, atau sesedikitnya kenyang setelah menyantap semua itu? Jenayah geleng-geleng. Pantas tubuhnya seperti kerbau.
“Meow…”
Gadis itu menengok ke bawah. Di sebelah kakinya bersemayam Estro, kucing bengal yang beberapa bulan lalu berkunjung sendiri tiba-tiba di kafe tanpa mau pamit hingga sekarang. Pukul dua siang, waktunya Estro mendapat camilan.
“Oh, hai! Kau sudah datang? Baiklah, tunggu.”
“Meeew….”
Biasanya Estro akan datang sendiri. Kucing itu jantan, tentu kerjanya berkelahi. Ada bekas luka di lehernya. Di bagian itu, bulu-bulu tidak tumbuh. Entah tempat apa saja yang khatam ia jelajahi. Mungkin dekat-dekat sini, mungkin juga jauh sekali. Namun bila tiba rasa lapar atau lelah, Estro pasti akan muncul dari balik pintu kafe, mengeong minta makan atau tidur-tiduran di bawah meja dekat jendela yang banyak cahaya mataharinya.
Jenayah sedang membuka bungkus pangan kucing dan hendak memberikannya dengan senyum kepada Estro ketika tiba-tiba lelaki berkemeja biru, satu-satunya pengunjung di kafe, berteriak nyaring. Frustrasi sekali dia kelihatannya. Kepalanya digaruk-garuk lagi, kali ini dengan sangat dan sangat kasar. Melihatnya membuat Jenayah terkejut sekaligus takut. Laki-laki aneh dengan laptop besar di meja pelanggan beberapa meter di hadapannya tampak mau meledak. Jenayah tidak bisa tidak berpikir tentang kemungkinan lelaki itu mengobrak-abrik kafe: merusak kursi, memecahkan gelas, dan paling parah membunuh gadis yang cuma bisa bekerja sebagai pelayan seperti dia.
“ARGH—! Bangsat! Tak bakal habis bila seperti ini terus!” teriak lelaki itu dengan suara setengah serak. Tidak ada siapa-siapa di kafe selain Jenayah dan si lelaki. Teman-teman Jenayah sedang pergi mengantar pesanan, dan bahkan koki pun juga keluar untuk membeli stok susu.
Si gadis membeku. Estro mengelilingi kakinya.
“Mungkin seratus tahun pekerjaan ini baru akan selesai. Setan betul!” racau lelaki itu lagi. Nadanya turun, tak sekeras yang pertama. Ia kemudian duduk kembali di kursi, menghela napas dalam-dalam. “Oi, pelayan! Tolong ke mari!”
Buru-buru Jenayah mengangsur makanan Estro ke wadah santapnya. Setelah meletakkan bungkus camilan kucing itu ke tempat semula, Jenayah bergegas menghampiri si pelanggan.
“I-iya. Ada apa, Pak?” tanya Jenayah gugup. Dirinya tak menyangkal jika takut, namun seberkas rasa jengkel sekiranya turut bersarang di hati gadis itu karena tingkah lelaki berkemeja biru yang tidak sopan.
“Aku minta satu piring double sunny eggs dan sosis lagi. Ah, tunggu. Jangan sosis. Apa kau punya bakon?” tanya si lelaki. Wajahnya dipenuhi peluh dan urat-urat hijau di pelipis.
“Bakon?”
“Daging perut babi,” jawab laki-laki berkemeja biru. “Punya tidak?”
“Ah, kami tidak menjual babi, Pak….”
“Astaga, padahal sedang ingin….” Laki-laki itu melipat kaca mata kemudian meletakannya di meja. Laptopnya pun dimatikan, ditutup pertanda ia mengakhiri pekerjaan dan akan pergi dari sini. Mungkin.
Tiba-tiba saja tenggorokan Jenayah terasa gatal.
“Kalau begitu aku pesan telur mata sapi seperti tadi saja. Tidak usah dengan sosis, tapi tolong tambahkan beberapa lembar keju. Bawakan juga segelas susu putih.”
“Ah, baiklah. Tolong ditunggu.” Jenayah melangkah menuju dapur. Koki belum juga datang, terpaksa ia yang harus memasak. Tetapi tidak apa-apa dirasanya sebab dengan dua lembar telur mata sapi dan segelas susu putih yang akan ia buat, laki-laki berkemeja biru bisa lebih cepat meninggalkan kafe.
Di luar, matahari bersinar amat terang. Estro tidur melingkar di bawah meja di pojok kafe. Musim yang tak tentu hujannya membuat udara jadi sedikit lebih enak dihirup. Meski datang tengah hari, terik yang menghampar tak begitu menyakitkan kulit.
Jenayah menghidangkan sepiring telur mata sapi ke atas meja lelaki berkemeja biru, disusul segelas susu putih. Ia hendak meletakkan juga sepasang pisau dan garpu sesaat sebelum laki-laki di depannya mencegah.
“Tidak usah. Aku pakai yang sudah ada saja,” ujar si lelaki. Di meja memang sudah terserak beberapa pisau dan garpu bekas pesanan sebelumnya.
“Oh, baiklah Pak,” balas Jenayah.
“Hei, ke mana orang-orang di kafe ini? Sepertinya kau sendirian dari tadi,” tanya lelaki itu. Tangannya mulai bergerak mengiris telur tepat dari bagian kuning di tengah.
“Ah, mereka sedang mengantar pesanan. Koki juga sedang pergi membeli stok bahan. Tapi memang kali ini rasanya lama sekali. Tidak seperti biasa.”
Dengan mulut yang masih mengunyah, lelaki itu tiba-tiba bangkit dan menggeser kursi di sebelah Jenayah. Ia lantas mengedikkan dagu ke arah kursi, memberi isyarat pada si gadis untuk duduk di sana.
“Eh?”
“Duduklah,” kata si lelaki usai menelan makanannya. “Aku sedang pusing. Temani aku mengobrol.”
“Ba…iklah.” Dan Jenayah pun duduk di kursi itu.
Lelaki berkemeja biru mengiris kembali potongan telur yang bersemayam di atas piring. Sejurus kemudian, ia teruskan dengan menusuk keju lembaran yang sudah ia lipat-lipat, lalu melahapnya sekali suap.
“Apa kau tahu kafe yang menjual bakon di sekitar sini? Bakon matang tentu saja,” tanya sang lelaki lagi, kedua setelah ia bertanya tentang ke mana orang-orang di kafe kecil itu. Ia berbicara dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.
“Saya kurang tahu, Pak. Tetapi sepertinya tidak ada yang menjual di sekitar sini.”
“Jangan panggil ‘Pak’, panggil saja David.”
“Um, baiklah Dave,” jawab Jenayah. Gadis itu sedikit canggung. Berbicara dengan orang tak dikenal yang beberapa belas menit lalu marah-marah—kemudian mungkin akan memuat rusuh kafe tempatnya bekerja, terlebih Jenayah sempat ingin mendamprat orang itu—membuat hati Jenayah berdebar-debar. Takut, cemas, tak mampu menebak. Lelaki kemeja biru bernama David ini tidak segan mengajak bercakap orang asing.
Di pucuk kafe yang berseberangan dengan mereka, Estro masih terlelap nyaman.
“Ngomong-ngomong,” Jenayah memberanikan diri untuk berucap. Melihat perangai David, seharusnya tidak apa-apa, “kenapa kau tadi marah-marah?”
“Oh, itu,” David beralih mengiris telur kedua, “aku sedang membetulkan bug pada anti-virus yang aku kembangkan. Dari kemarin-kemarin bug itu tak kunjung ter-cover. Sampai mau pecah kepalaku dibuatnya. Maaf kalau itu mengganggumu.”
Jenayah mengangguk kecil. Pantaskah jika Jenayah bilang “hanya” itu? Ya, “hanya”. “Hanya” karena itu, lelaki bertubuh gempal yang sedang bersantap ini membuat berisik kafe. “Oh….”
“Hei, apa kau makan babi?” David kembali bicara. Matanya menatap lurus ke arah Jenayah.
Jenayah membalas, “Yah, sebenarnya belum pernah. Tapi aku tidak keberatan.”
“Untunglah! Kalau begitu boleh minta nomor teleponmu?”
“Untuk?”
“Aku mau mencari tempat yang menjual bakon. Apa kau mau menemaniku? Kita bisa makan bersama nanti. Aku baru di kota ini, dan masih belum punya banyak teman.” David mengelap mulutnya dengan tisu. Sajian dua telur berikut lembar keju yang ada di piringnya sudah habis. Tangan lelaki itu meraih gelas susu, hendak menenggak sebelum menambahkan kalimat lagi. “Sekalian aku mau lihat-lihat kota ini.”
Jenayah berpikir sejenak. Orang di depannya benar-benar tidak punya batasan dalam bergaul! “Oh, boleh saja kalau begitu.”
Dua orang tersebut berdiam-diaman singkat setelahnya: David meneguk susu, sementara Jenayah hanya melihat lelaki itu minum. Sore hampir tiba. Langit mulai redup, mewarna lebih dingin. Teman-teman Jenayah satu per satu pulang dari pengantaran termasuk sang koki yang membawa balik dua boks susu tawar dengan napas terengah-engah. Mereka menyapa Jenayah yang tentu disambut lembut olehnya.
“AH—! Baiklah. Berapa nomor teleponmu?” tukas David langsung setelah susu di gelas tandas. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, mengusap layar, lalu mengetuk-ngetukkan jari.
Jenayah menyebutkan sederet angka. Dengan cepat, David mengetik angka-angka tersebut.
“Oke, terima kasih! Siapa namamu?”
“Jean. Jenayah.”
“Senang berkenalan denganmu, Jean!” David melempar senyum pada Jenayah. Jenayah membalas dengan senyum yang sama lebarnya. Meski sedikit terpaksa.
Lelaki itu bangkit, membayar tagihan sekaligus mengemas barang-barang sebelum melangkah keluar dari mulut kafe. “Akan kuhubungi nanti jika aku berencana mencari bakon. Sampai jumpa!”
Jenayah menjawab, “Ya, sampai jumpa!”
Estro belum juga terbangun. Pelanggan-pelanggan baru mulai datang meramaikan kafe lagi selepas kepulangan David. Di kursinya, Jenayah mematung menatap kaca sebelah pintu masuk yang beberapa detik lalu masih menampakkan sosok David dengan kemeja biru. Kenapa dia tadi memberi teleponnya? Kenapa dia tidak bilang saja kalau sedang tidak pegang ponsel? Mungkin rusak atau hilang? Dan… mencari daging perut babi?
“Ah, sudahlah,” gumam Jenayah pelan. Gadis itu kembali ke belakang meja pemesanan, melayani pengunjung yang terus datang.
Di belakang meja pemesanan, Jenayah mengulum bibir. Laki-laki berkemeja biru lembut itu sudah menghabiskan empat piring telur mata sapi yang masing-masing piring berisi dua lembar—jadi itu delapan—dengan sosis ayam, dan tiga gelas es moka. Sampai sekarang masih dipelototi olehnya mesin ketik di sana yang mungkin sudah mau meledak. Apa dia tidak mengantuk, atau sesedikitnya kenyang setelah menyantap semua itu? Jenayah geleng-geleng. Pantas tubuhnya seperti kerbau.
“Meow…”
Gadis itu menengok ke bawah. Di sebelah kakinya bersemayam Estro, kucing bengal yang beberapa bulan lalu berkunjung sendiri tiba-tiba di kafe tanpa mau pamit hingga sekarang. Pukul dua siang, waktunya Estro mendapat camilan.
“Oh, hai! Kau sudah datang? Baiklah, tunggu.”
“Meeew….”
Biasanya Estro akan datang sendiri. Kucing itu jantan, tentu kerjanya berkelahi. Ada bekas luka di lehernya. Di bagian itu, bulu-bulu tidak tumbuh. Entah tempat apa saja yang khatam ia jelajahi. Mungkin dekat-dekat sini, mungkin juga jauh sekali. Namun bila tiba rasa lapar atau lelah, Estro pasti akan muncul dari balik pintu kafe, mengeong minta makan atau tidur-tiduran di bawah meja dekat jendela yang banyak cahaya mataharinya.
Jenayah sedang membuka bungkus pangan kucing dan hendak memberikannya dengan senyum kepada Estro ketika tiba-tiba lelaki berkemeja biru, satu-satunya pengunjung di kafe, berteriak nyaring. Frustrasi sekali dia kelihatannya. Kepalanya digaruk-garuk lagi, kali ini dengan sangat dan sangat kasar. Melihatnya membuat Jenayah terkejut sekaligus takut. Laki-laki aneh dengan laptop besar di meja pelanggan beberapa meter di hadapannya tampak mau meledak. Jenayah tidak bisa tidak berpikir tentang kemungkinan lelaki itu mengobrak-abrik kafe: merusak kursi, memecahkan gelas, dan paling parah membunuh gadis yang cuma bisa bekerja sebagai pelayan seperti dia.
“ARGH—! Bangsat! Tak bakal habis bila seperti ini terus!” teriak lelaki itu dengan suara setengah serak. Tidak ada siapa-siapa di kafe selain Jenayah dan si lelaki. Teman-teman Jenayah sedang pergi mengantar pesanan, dan bahkan koki pun juga keluar untuk membeli stok susu.
Si gadis membeku. Estro mengelilingi kakinya.
“Mungkin seratus tahun pekerjaan ini baru akan selesai. Setan betul!” racau lelaki itu lagi. Nadanya turun, tak sekeras yang pertama. Ia kemudian duduk kembali di kursi, menghela napas dalam-dalam. “Oi, pelayan! Tolong ke mari!”
Buru-buru Jenayah mengangsur makanan Estro ke wadah santapnya. Setelah meletakkan bungkus camilan kucing itu ke tempat semula, Jenayah bergegas menghampiri si pelanggan.
“I-iya. Ada apa, Pak?” tanya Jenayah gugup. Dirinya tak menyangkal jika takut, namun seberkas rasa jengkel sekiranya turut bersarang di hati gadis itu karena tingkah lelaki berkemeja biru yang tidak sopan.
“Aku minta satu piring double sunny eggs dan sosis lagi. Ah, tunggu. Jangan sosis. Apa kau punya bakon?” tanya si lelaki. Wajahnya dipenuhi peluh dan urat-urat hijau di pelipis.
“Bakon?”
“Daging perut babi,” jawab laki-laki berkemeja biru. “Punya tidak?”
“Ah, kami tidak menjual babi, Pak….”
“Astaga, padahal sedang ingin….” Laki-laki itu melipat kaca mata kemudian meletakannya di meja. Laptopnya pun dimatikan, ditutup pertanda ia mengakhiri pekerjaan dan akan pergi dari sini. Mungkin.
Tiba-tiba saja tenggorokan Jenayah terasa gatal.
“Kalau begitu aku pesan telur mata sapi seperti tadi saja. Tidak usah dengan sosis, tapi tolong tambahkan beberapa lembar keju. Bawakan juga segelas susu putih.”
“Ah, baiklah. Tolong ditunggu.” Jenayah melangkah menuju dapur. Koki belum juga datang, terpaksa ia yang harus memasak. Tetapi tidak apa-apa dirasanya sebab dengan dua lembar telur mata sapi dan segelas susu putih yang akan ia buat, laki-laki berkemeja biru bisa lebih cepat meninggalkan kafe.
*****
Di luar, matahari bersinar amat terang. Estro tidur melingkar di bawah meja di pojok kafe. Musim yang tak tentu hujannya membuat udara jadi sedikit lebih enak dihirup. Meski datang tengah hari, terik yang menghampar tak begitu menyakitkan kulit.
Jenayah menghidangkan sepiring telur mata sapi ke atas meja lelaki berkemeja biru, disusul segelas susu putih. Ia hendak meletakkan juga sepasang pisau dan garpu sesaat sebelum laki-laki di depannya mencegah.
“Tidak usah. Aku pakai yang sudah ada saja,” ujar si lelaki. Di meja memang sudah terserak beberapa pisau dan garpu bekas pesanan sebelumnya.
“Oh, baiklah Pak,” balas Jenayah.
“Hei, ke mana orang-orang di kafe ini? Sepertinya kau sendirian dari tadi,” tanya lelaki itu. Tangannya mulai bergerak mengiris telur tepat dari bagian kuning di tengah.
“Ah, mereka sedang mengantar pesanan. Koki juga sedang pergi membeli stok bahan. Tapi memang kali ini rasanya lama sekali. Tidak seperti biasa.”
Dengan mulut yang masih mengunyah, lelaki itu tiba-tiba bangkit dan menggeser kursi di sebelah Jenayah. Ia lantas mengedikkan dagu ke arah kursi, memberi isyarat pada si gadis untuk duduk di sana.
“Eh?”
“Duduklah,” kata si lelaki usai menelan makanannya. “Aku sedang pusing. Temani aku mengobrol.”
“Ba…iklah.” Dan Jenayah pun duduk di kursi itu.
Lelaki berkemeja biru mengiris kembali potongan telur yang bersemayam di atas piring. Sejurus kemudian, ia teruskan dengan menusuk keju lembaran yang sudah ia lipat-lipat, lalu melahapnya sekali suap.
“Apa kau tahu kafe yang menjual bakon di sekitar sini? Bakon matang tentu saja,” tanya sang lelaki lagi, kedua setelah ia bertanya tentang ke mana orang-orang di kafe kecil itu. Ia berbicara dengan mulut yang masih dipenuhi makanan.
“Saya kurang tahu, Pak. Tetapi sepertinya tidak ada yang menjual di sekitar sini.”
“Jangan panggil ‘Pak’, panggil saja David.”
“Um, baiklah Dave,” jawab Jenayah. Gadis itu sedikit canggung. Berbicara dengan orang tak dikenal yang beberapa belas menit lalu marah-marah—kemudian mungkin akan memuat rusuh kafe tempatnya bekerja, terlebih Jenayah sempat ingin mendamprat orang itu—membuat hati Jenayah berdebar-debar. Takut, cemas, tak mampu menebak. Lelaki kemeja biru bernama David ini tidak segan mengajak bercakap orang asing.
Di pucuk kafe yang berseberangan dengan mereka, Estro masih terlelap nyaman.
“Ngomong-ngomong,” Jenayah memberanikan diri untuk berucap. Melihat perangai David, seharusnya tidak apa-apa, “kenapa kau tadi marah-marah?”
“Oh, itu,” David beralih mengiris telur kedua, “aku sedang membetulkan bug pada anti-virus yang aku kembangkan. Dari kemarin-kemarin bug itu tak kunjung ter-cover. Sampai mau pecah kepalaku dibuatnya. Maaf kalau itu mengganggumu.”
Jenayah mengangguk kecil. Pantaskah jika Jenayah bilang “hanya” itu? Ya, “hanya”. “Hanya” karena itu, lelaki bertubuh gempal yang sedang bersantap ini membuat berisik kafe. “Oh….”
“Hei, apa kau makan babi?” David kembali bicara. Matanya menatap lurus ke arah Jenayah.
Jenayah membalas, “Yah, sebenarnya belum pernah. Tapi aku tidak keberatan.”
“Untunglah! Kalau begitu boleh minta nomor teleponmu?”
“Untuk?”
“Aku mau mencari tempat yang menjual bakon. Apa kau mau menemaniku? Kita bisa makan bersama nanti. Aku baru di kota ini, dan masih belum punya banyak teman.” David mengelap mulutnya dengan tisu. Sajian dua telur berikut lembar keju yang ada di piringnya sudah habis. Tangan lelaki itu meraih gelas susu, hendak menenggak sebelum menambahkan kalimat lagi. “Sekalian aku mau lihat-lihat kota ini.”
Jenayah berpikir sejenak. Orang di depannya benar-benar tidak punya batasan dalam bergaul! “Oh, boleh saja kalau begitu.”
Dua orang tersebut berdiam-diaman singkat setelahnya: David meneguk susu, sementara Jenayah hanya melihat lelaki itu minum. Sore hampir tiba. Langit mulai redup, mewarna lebih dingin. Teman-teman Jenayah satu per satu pulang dari pengantaran termasuk sang koki yang membawa balik dua boks susu tawar dengan napas terengah-engah. Mereka menyapa Jenayah yang tentu disambut lembut olehnya.
“AH—! Baiklah. Berapa nomor teleponmu?” tukas David langsung setelah susu di gelas tandas. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, mengusap layar, lalu mengetuk-ngetukkan jari.
Jenayah menyebutkan sederet angka. Dengan cepat, David mengetik angka-angka tersebut.
“Oke, terima kasih! Siapa namamu?”
“Jean. Jenayah.”
“Senang berkenalan denganmu, Jean!” David melempar senyum pada Jenayah. Jenayah membalas dengan senyum yang sama lebarnya. Meski sedikit terpaksa.
Lelaki itu bangkit, membayar tagihan sekaligus mengemas barang-barang sebelum melangkah keluar dari mulut kafe. “Akan kuhubungi nanti jika aku berencana mencari bakon. Sampai jumpa!”
Jenayah menjawab, “Ya, sampai jumpa!”
Estro belum juga terbangun. Pelanggan-pelanggan baru mulai datang meramaikan kafe lagi selepas kepulangan David. Di kursinya, Jenayah mematung menatap kaca sebelah pintu masuk yang beberapa detik lalu masih menampakkan sosok David dengan kemeja biru. Kenapa dia tadi memberi teleponnya? Kenapa dia tidak bilang saja kalau sedang tidak pegang ponsel? Mungkin rusak atau hilang? Dan… mencari daging perut babi?
“Ah, sudahlah,” gumam Jenayah pelan. Gadis itu kembali ke belakang meja pemesanan, melayani pengunjung yang terus datang.

1 Komentar
Aku malah ngebayangin makan bacon+telor mata sapi, beh kayaknya enak ditambah mie kuah 😭👍
BalasHapus