[[PROSA]] - Pertanyaan di Balik Pagar

Tiap kali memandang keluar melewati celah pagar yang rapat ini, aku selalu berpikir bahwa aku adalah seorang anak malang. Di depan sana, banyak orang lalu-lalang, bergandeng tangan, saling bercanda tawa, bocah-bocah menggiring bola, dan para penjual roti yang tidak sekali-dua kali menghitung uang. Bagiku, mereka terlihat bahagia. Bagaimana bisa aku tidak iri kepada mereka yang kakinya mampu menikmati jalan, sementara aku di sini hanya berdiam diri bagai katak dalam tempurung? Sendirian saja. Jangan salah paham, aku tidak pincang. Aku hanya... terkurung.

Tanggal tujuh kemarin, seorang lelaki entah dari mana asalnya tiba-tiba mengunjungi pagar yang selalu menutupi aku. Lelaki tampan dengan mata biru dan rambut pirang. Dia bertanya, siapa namamu?; mengapa kau tak pernah terlihat turun ke jalan?; ada apa dengan hidupmu?

Hidupku? Kenapa dia mempertanyakan hidupku? Aku tidak bisa menjawab, karena sejak aku tak lagi diajari membalas ujaran, aku selalu memilih satu di antara diam pura-pura tak mendengar atau pergi dengan egois. Lagipula itu adalah pertanyaan pertama mengenai urusan pribadi untukku. Aku tidak punya pengalaman atasnya. Ibuku selalu bilang agar berhati-hati pada lelaki bermata biru sebab mereka lekat dengan alkohol. Sementara, dia menambahkan, di negara kita ini, alkohol hanya digunakan untuk mabuk.

Setelah pertanyaan itu, di hari berikutnya ia muncul lagi dengan pertanyaan yang berbeda. Kali ini dia bertanya, mengapa kau sering mengenakan rok hijau itu? Apakah itu pakaian favoritmu? Aku menggeleng. Memangnya jika aku memakai pakaian yang sama untuk beberapa waktu, itu berarti aku memfavoritkannya? Kurasa aku tidak begitu setuju. Aku memakainya dalam jangka waktu lama karena aku tidak suka pakaian yang lain. Mau tidak mau, pilihanku jatuh pada rok ini. Sebenarnya aku biasa saja. Cuma bentuk jahitan yang membuatnya nampak lebih bagus daripada pakaian lain.

Lelaki tersebut tak mengunjungiku lagi di hari ke-tiga. Aku melihat dia berjalan bersama seorang gadis berambut panjang dan kulit yang sangat putih, jauh dari tempatku berpijak. Mereka seperti sedang berpacaran. Dunia mungkin berubah -tidak dengan teratur- sebab di balik pagar ini, aku merasa masih hidup di zaman kekaisaran. Semua serba kuno. Padahal apa yang selalu mataku saksikan dari jarak tak kurang dari sepuluh meter sudah menunjukkan betapa pesatnya perkembangan teknologi sejak Hayam Wuruk masih berkuasa.

Atau... memang dua orang itu saja yang hidup di tahun 3000?

Aku mulai menerima persepsiku sendiri ketika orang-orang yang melihat pasangan tersebut berciuman mengernyitkan dahi- tanda tak suka. Di tengah jalan, seolah tak tahu malu, mereka menempelkan mulut berkali-kali tiada bosannya. Menjijikkan. Melakukan hal semacam itu di depan umum sangat merugikan orang lain karena akan mempercepat datangnya kiamat. Ibuku benar. Lelaki bermata biru memang lekat dengan alkohol.

Kadang-kadang aku merasa bahwa aku bukanlah manusia. Di benakku, selalu datang pertanyaan-pertanyaan sulit berikut argumen yang sifatnya menyudutkan. Aku manusia, tapi aku selalu berprasangka buruk pada sesama manusia. Seperti orang tak tahu diri. Lantas, lebih baik jadi apa aku ini?

Sekarang aku mulai berpikir tentang keeksistensianku di mata orang-orang. Apakah mereka pernah melihatku, lalu menganggapku ada? Sekali saja? Sebelum lelaki bermata biru, tak seorang pun yang pernah memperhatikanku. Padahal aku selalu di sini, di balik pagar dengan rok warna hijau yang sama empat hari dalam seminggu. Tetapi bahkan penjaja balon yang senantiasa dikerubuti anak kecil tiap sore di dekat tiang listrik tidak sekalipun melirik ke belakang pagar ini. Aku seperti hantu. Terkucil dari dunia luar. Tak ada yang peduli.

Sekasihan-kasihannya burung dalam sangkar, lebih kasihan lagi cacing yang digunakan untuk pakannya. Mati tak mati, hidup tak hidup, dunia tak akan berubah, sebab orang bodoh tak akan memberi kontribusi berarti.

0 Komentar