Ok, jadi aku mau langsung aja ke inti pembicaraan 😂 Pada awal perilisannya di tahun 2018 dan 2019, aku sama sekali nggak tertarik untuk nonton film ini. Alasannya: (1) Karena film ini film menye, romansa anak remaja banget yang bagiku agak cringe, (2) Pemeran Dilannya一Iqbaal Ramadhan. Well, sebenarnya aku jadi ingat bahwa suatu hari di LINE, aku pernah nulis kalau aku nggak keberatan menerima Iqbaal sebagai pemeran tokoh utama. Waktu itu kayaknya santer kabar kalau banyak yang nggak setuju Iqbaal memerankan Dilan. Mereka menganggap wajahnya Iqbaal "too much funny" untuk main film gara-gara imejnya sebagai personil boyband Coboy Junior dulu 😂 Dan kalian tahu kan kalau Coboy Junior banyak haters-nya (apalagi dari keturunan Adammmm). Yang dibilang alay-lah, kecil-kecil nyanyi lagu cinta-cintaanlah, dan lain sebagainya. Sumpah, sebenarnya aku agak kasihan, sih 😂 Untung saja aku bukan termasuk kaum Adam yang bermulut lemes itu :'v Aku juga bukan tipe orang yang kecebur stereotip (ye). Perkara kenapa aku nggak tertarik nonton film ini (nomor dua) hanya karena Iqbaal vibes-nya anak lugu banget. Maksudku, ketidaktertarikan ini bukan berlandaskan pada track record-nya, apa dia sebagai mantan anggota boyband "alay" atau enggak, tetapi memang lebih ke aura si Iqbaal yang seems really like a good boy.
Namun, tiba-tiba suatu keajaiban terjadi 😂Aku agak lupa di mana, tapi musabab aku tiba-tiba bersemangat banget (setelah fase ketidaktertarikan itu) untuk nonton ini adalah karena di suatu laman internet, aku tidak sengaja nemu potongan video Dilan yang... anjim banget :3 Di sana, Dilan sedang smirk ke Milea and I was like... aku sama sekali nggak nyangka Iqbaal bisa akting setengil itu :3 Ya ampunnn!! Penasaran membuncah :" lalu langsunglah aku nyari film ini :p (catatan: aku nggak baca novelnya, jadi marilah kita mengulas film ini sebagai karya independen yang secara total一terpisah dengan si novel). Hal yang aku rasakan ketika nonton untuk yang pertama kalinya itu... bagaimana, ya... kayak sangat campur aduk. Ada kagum, malu, cringe 😂 dan yaa dan lain, dan lainnya. Film ini ternyata tidak tidak-semenarik ituuu 😂 Aku akan membagi review ini ke dalam beberapa bagian acak, bukan clearly positif-negatif sebagaimana kebanyakan ulasanku sebelumnya, and you can comment below if you whether agree or not with those point. Cekidot!!
Pertama, aku―dengan tentu―begitu geli dengan dialognya. "melarangmu"? "mencintaimu"? Ya ampun, nggak banget di telinga ini. Mungkin di novelnya tidak akan begitu ngaruh, tapi untuk ukuran sebuah film (yang di Indonesia ini percakapannya sudah sangat-sangat realistis, meski dalam beberapa kasus, kadang juga tidak realistis 😂 mengingat latar tempat itu bisa berada di mana saja, namun rasanya tidak mungkinlah kita memakai full bahasa daerah sekalipun orang-orang yang kediamannya dijadikan "latar" cerita itu menggunakan bahasa lokal untuk bercakap sehari-hari), kosakata demikian, wush, APAAN SIH?😂 Gitu. Ehem. Katakanlah itu memang menurut "bahan" yang tersedia di novel, but, apa sungguh nggak ada jalan keluar lain? Apakah gara-gara cringey dialogue ini, kita jadi harus baca novelnya juga? Terus bilang: heiii, dialognya sangat menggelikan, kawand :") Soal bakal jadi panjang kalau dikait-kaitin ke ini dan itu. Pada intinya, dialognya kurang nyaman didengar. Lagipula film ini berlatar tahun 1990, dan kupikir bahasa pada masa itu sudah agak cair. Sudah lebih casual. Tidak baku-baku-keju seperti zaman filmnya Rhoma Irama :'D Hmmm... jadi sekali lagi, apa kita perlu protes ke penulis novelnya, ya? XD Toh, Ayah Pidi juga sepertinya ikut andil dalam nulis skenario film ini. Seharusnya (menurutku secara super subjektif :p) dialog kayak begitu bisa dirombak dikittt.
Kedua. Aku nggak bisa bilang aku menangkap benar suasana yang hendak ditampilkan si sutradara dalam film ini, tetapi kupikir film ini dimaksudkan ikut gaya film jadul. Kayak Warkop DKI gitu mungkin? Terlihat dari potongan per scene-nya yang ringkas dan lugas. Warna filmnya juga... senangkapku dikesankan biru begitu untuk menyajikan aroma nostalgia #ea. Ini penilaian dari segi teknikal. Tidak jauh berbeda dengan film-film pada umumnya, hanya saja aku tipis-tipis menemui semacam effort yang seolah berkata "aku adalah ini!" I mean, film ini seakan ingin menunjukkan identitasnya sebagai sebuah film yang hadir mewakili tahun 1990-an. Ini sotoy saja, tetapi aku bahkan juga melihat identity making effort ini pada pewarna bibir para pemeran. It's pink puyeh berkilau like you wear a lip gloss as was common in those days. Singkat kata, sih, kalau ini memang benar, kuakui, THAT WAS SUCCESSFUL! Aku suka banget. Meskipun tipis, tapi buat aku ini sudah cukup mengena. Yang aku kurang sreg hanyalah seragam para muridnya yang tampak masih baru, padahal mereka sudah kelas dua. Tapi nggak usah dipikirkan, sih. Lagian aku juga males ngetik penjabarannya, wkwkwkwk. (catatan 2: aku juga suka sama sepatunya si Brandon Salim alias si Beni. Seperti sepatu basketnya Hanamichi Sakuragi.)
Ketiga. Problematik terbesar yang membuatku iuh iuh hmm :) JALAN CERITA! Seharusnya sih, nggak perlu terlalu dikomentari, karena jalan cerita pada sebuah film adaptasi sebagian besar pasti menganut pada novelnya. Kalau kalian tidak bosan, aku bakal tanya lagi. Apa kita harus protes ke penulis nov― *dibekap netizen karena terus mengulang hal yang sama* Oke, lupakan sajalah. Aku cuma ingin bilang, jalan cerita Dilan ini nggak punya "masalah serius" yang membuat dua tokoh utamanya jadi sangat perlu dihayati. Maksudku, urusannya sekadar cinta-cintaan, men! Dilan suka, terkesan cinta sampai dasar hati, ke Milea secara tbtb (aku nggak baca novelnya, jadi aku nggak tahu apa ada alasan spesifik kenapa si Dilan ini bisa sampai begitu sukanya ke Milea atau tidak, tapi di film ini, alasan yang menurutku sakral itu―jika pun ada―tidak ditunjukkan.) and it's a little bit, umm.... Kamu bilang kamu nggak segan membakar sekolah (membakar sekolah, gaes) jika UwU-mu disakiti perangkat institusi dengan emosi: 😈😡 dan teriakan tinggi, BUT, APA YANG MENDASARI ITU? Karena dia cantik? Sudah, begitu saja? Ckckck. 🙉 Jangan ngomongin begituan, deh.
Dilan di film ini adalah sosok cowok yang hanya bisa ditemui di dunia ide. Keren, romantis, anggota geng motor (iyaaa, kita para wanita rapuh mesti cenut-cenut sama bad boy), tidak baik tetapi juga tidak kasar ke pacarnya 😗 Suka nulis puisi lagi (mungkin saja tokoh ini terinspirasi dari alm. Chairil Anwar). Ganteng dan bisa main gitar. Bapaknya TNI, ibunya guru. PAKET LENGKAP. Dia itu seperti tipe-tipe cuwu fanfiction yang will serves breakfast for you with kiss in the morning, but in the same time, will also punch someone's face who hurt his sweety's heart. Yeah, aku juga pengin cowok kayak Dilan. Ada dua poin yang membuat Dilan tampak manusiawi (bukan lelaki-fanfikwi), yaitu ketika dia marah ke Milea karena salah paham dengan Yugo, dan kelakuannya yang dengan segala kebodoamatan tetap tawuran meski Milea sudah melarang. Di poin pertama, Dilan tampak seperti lelaki yang rupanya bisa ngamux juga ke cewek. Sementara poin ke-dua, Dilan tampak seperti cowok SMA biasa yang pikirannya kadang-kadang pendek: ia melakukan apa yang dia sangat suka. Namun mungkin hanya itu sajalah. Selebihnya Dilan tetap lelaki yang ketimbang datang dari jenis manusia, dia lebih cocok datang dari jenis imajinasi. #tidakadacowoksepertiDilandiduniainifixvalidnodebat
Sekarang, kita hujat :'v bahas tokoh Milea. Menurutku karakternya ini agak kurang power. Dia cewek dari keluarga yang tampaknya harmonis-harmonis saja, cantik, banyak yang suka (bahkan terlalu banyak sampai aku eneg), seksi, nggak miskin juga, pokoknya well-blessed, deh. Dia merasa jadi gadis yang paling menyedihkan di muka bumi hanya gara-gara ditampar Anhar (itu pun Anhar minta maaf), dan pacarnya ngambek pas tahu dia lagi sama cowok lain. 😞 Milea, kenapa kamu kayak gitu? Penderitaannya seolah hanya tentang Dilan yang nggak mau nurutin larangannya untuk berhenti berantem. Maksudku, iya kalau aku bayangin sekarang aku memang akan sedih dan kepikiran untuk memutuskan cowokku jika dia suka berantem hingga keluar-masuk penjara kayak Dilan. Tetapi untuk dijadikan sebuah puncak masalah? Titik klimaks? Dengan semua ketidak-blessed-an yang tidak dimilikinya, saya pikir, memang begitulah jenis penderitaan besar bagi dia. Aku tidak meng-oke-kan bagian ini.
Keempat, aktingnya Iqbaal. AAAAAAAA!!!!!! *sceaming internally* Aku nggak akan bahas akting pemeran lain selain Iqbaal. (Ya sudah, aku akan bahas aktingnya Vanesha sedikit saja karena dia juga main hero(ine) sebelum mulai ngomongin Iqbaal. Komentar: aktingnya Vanesha imut, pantas kok merepresentasikan karakter seorang perempuan SMA yang hidupnya well-blessed. Dah itu aja :3 #sorry) Ya ampun, aku sama sekali nggak kuat sama ketengilan anak ini di sini :3 Kalau aku menerawang apa yang ada di novel, sepertinya, karakter Dilan akan terasa lebih tengil dan jauh jauh lebih tengil daripada yang ada di film. Entah kenapa, aku bisa merasakan itu #indra keenam ya, Bund. Namun, Iqbaal di filmnya seolah punya kharisma tersendiri. Dia itu kayak meng-Iqbaal-kan Dilan. Maksudku, karakter Dilan yang bisa saja beda dengan karakter seorang Iqbaal, itu bisa jadi melebur. Gimana ya menjelaskannya XD Intinya, Iqbaal menurutku berhasil memerankan karakter Dilan, tapi versi dirinya sendiri. Jadi bukan seperti Iqbaal yang men-Dilan, melainkan Dilan yang meng-Iqbaal. It's madly incredible, and I can't stop smiling XD
Terusan, Dilan kan diceritakan kalem ke Milea, yaaa. Pas adegan Milea nyari Dilan dalam rangka menghentikan rencana Dilan nyerang sekolah lain, waktu Milea minta Dilan buat jalan-jalan, itu sumpah :3 suaranya Iqbaal membuatku AAAAAAAAAAAAA, gitu. Apa, sih???!! Kok bisa kayak gitu?!!! He said, sekaraang?; besok aja, yah.... SUMPAH gua ternyata cuma perempuan biasa, Ya Allah. Fiyuh. Aku nggak ngerti lagi mau ngomong apa. Kalem dapet, suara dapet, tengil dapet, ekspresi yang lain-lain juga nggak jelek, well, Iqbaal ternyata dapat memerankan perannya dengan sempurna. Iqbaal berhasil jadi bad boy, tapi dengan standarnya sendiri XD Plot twist yang nggak terduga, tapi tetap masuk akal. Kayaknya setelah ini aku bakal jadi FG-nya Iqbaal XD
AND THAT'S ALL OF IT. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang eksis, setelah ulasan yang cukup panjang, bisa aku simpulkan, film Dilan ini memang diperuntukkan bagi remaja. TARGET PASARNYA memang di situ. Filmnya ringan, cheesy, kategori serius-tidak seriusnya tidak jauh-jauh dari apa yang disenangi & dipahami para ABG. Di beberapa poin, fiksionalnya terlalu kental, tapi justru di situlah nilainya.
Here's the ratings:
Sinematografi : 8/10
Akting : 9/10
Properti & Art : 7/10
Skoring : nggak begitu merhatiin sebenarnya, jadi kasih saja 7/10
Alur: 6/10
Well, rate ini menurutku nggak buruk, kok. Di atas itu hanya perkara teknikal, sementara kita tahu film Dilan ini tidak bermaksud menonjolkan teknikal, melainkan CERITA CINTA BERDUA.
Sampai jumpa pada postingan selanjutnya!


0 Komentar