Cermin yang mematri bayangan diriku, sekarang ini, sudah berani berbohong. Mataku yang indah dihinakannya dengan kantung dan parit. Pipiku yang selalu merona ditumpuknya dengan debu. Bibirku dijadikan kaktus padang pasir. Rambutku dicelupkan air selokan. Ia sirnakan pelangi. Tutupi cahaya. Memukulkan aku segulung besar anak-anak hujan. Kasar. Tanpa ampun. Tak peduli aku ini manusia, perempuan, sendirian.
Kebohongan yang luar biasa keras kepala. Cermin itu kerap mencuitkannya setelah usiaku dua puluh. Dia bilang aku menyedihkan, jelek, bodoh. Angsa yang mati di tepi air terjun. Sayapnya bengkok. Paruhnya patah. Matanya tercolok ranting bambu. Entah mengalir ke mana bangkainya. Darah saja sudah tak tercium. Mungkin habis dimangsa kawanan gagak. Atau tertabrak batu. Tengkorak pecah. Kaki tinggal kuku.
Keparat. Sungguh keparat. Sudah berkali-kali kuhancurkan cermin itu, tetapi esoknya ia selalu utuh seperti semula. Katanya, aku ini saudara tembok Dzulqarnain. Puih! Siapa mau percaya? Yang punya mulut saja kadang berkata dusta, apalagi yang tidak?
“Buktinya aku selalu kembali sebagaimana awal aku berdiri,” kata cermin itu lagi. Kini ia menguliti lenganku hingga muncul borok.
Aku berjengit. “Bajingan! Kau cermin setan! Anak tukang sihir!”
Sekeras karang di lautan, aku mengayunkan tangan. Kulempar batu kolam yang belakangan sering aku timbun ke arah cermin sialan itu. Nyaring suara pecah menjadi satu-satunya yang menyapa telinga. Bukan suaraku. Bukan suaranya. Tak sanggup sudah ia bicara. Ia tewas. Serpihannya aku pukul lagi sampai jadi gula. Kemudian kutinggalkan agar dapat leluasa menikmati kematiannya.
Benda mati sama sekali tidak bisa disepadankan dengan makhluk hidup. Cermin brengsek itu sudah pasti berbeda dengan air di kolam yang belakangan sering aku timbun batunya. Ia selalu memujiku. Ia selalu menyajikan aku yang sebenar-benarnya aku. Yang diceritakan ibuku. Yang dibanggakan ayahku. Yang potretnya tersimpan di ujung meja belajar. Mata cantik. Pipi berseri. Rambut indah. Bibir yang tak tahu apa-apa selain tersenyum.
“Halo untuk hari ini.” Air itu menuturkan sapaan baik hati.
Aku merunduk. “Halo.”
“Bagaimana kabar bulanku?”
“Ia hendak bersinar.”
Ia memiliku sebagai bulan. Aku membiarkannya karena menyenangkan. Sanjungan tak bersudut senantiasa air itu poleskan di dadaku. Sekering apa luka yang bersarang, sesejuk itu pula ia tidurkan. Dia bilang aku tak pantas terluka. Terlalu berharga. Wajib bahagia. Peri yang menerangi malamnya. Memberi berkat lewat cahaya. Menyebar anugerah. Mengusir sakit hati. Entah apa jadinya dunia tanpa aku. Orang-orang mungkin buta dan bisu.
Dia sungguh lemah lembut. Air kolam yang selalu bersedia membasuh kulitku. Jika aku sedang sedih, ia selalu menghibur. Katanya, yang membuatmu bersedih itu bodoh sebodoh-bodohnya yang pernah diciptakan Tuhan.
“Mari,” ajaknya untuk yang ke sekian kali.
“Ya.” Aku melepaskan seluruh kain yang menempel di badan. Air itu memandikanku lagi.
Senandung pohon pinus merayakan pertemuan kami kembali. Rasanya sungguh menyenangkan. Tenggelam di dalam ia yang mencintaimu, untuk selamanya, tak akan jadi penyesalan. Tak perlu berfilosofi apalagi analogi. Aku manusia, bukan angsa. Aku memang tak punya sayap. Aku memang tak punya paruh.
Ujung kepalaku tak lagi menyembul di permukaan. Malam ini, aku menjelma bulan dalam air.
Surabaya, 27 November 2019
0:50 WIB di kamarku.

3 Komentar
Mantabbbbb. Keren abis ��
BalasHapusHah, kok 26 Nov. Ada apa dg kalender blogku
HapusEngga ada pilihan like lah
BalasHapus